Thursday, 25 February 2016

Mari Berhenti Menjadi Teroris

Barangkali teror merupakan pelor kemarahan Sang Ilahi yang setengah matang ketika (Nabi) Adam berbuat lancung. Tuhan sudah memberi berjuta-juta kemewahan, bahkan menjadi penguasa atas dunia kepada Adam, tetapi dia malah tersedot pada kenikmatan semu. Larangan Sang Ilahi dengan penuh perhitungan dilanggar sehingga Sang Pencipta marah. Yang dimarahi ketakutan yang lalu bersembunyi. Inilah teror pertama: berasal dari Tuhan kepada manusia.

            Tetapi, Tuhan tak dapat disalahkan begitu saja sebagai pemberi teror tunggal. Teror itu merupakan akibat dari keserakahan manusia. Ya, keserakahan yang dilakukan penuh pertimbangan. Ular menggoda bahwa setelah memakan buah terlarang, manusia akan dianugerahi sebuah ilmu pengetahuan yang tahu mana yang benar dan mana yang salah. Manusia melalui Adam berhitung dengan godaan-godaan itu. Apakah baginya sudah cukup sebagai penguasa ciptaan Tuhan atau harus setara dengan pencipta itu sendiri?
Ternyata, manusia haus kekuasaan. Manusia teperdaya oleh godaan setan. Inilah menjadi bukti-spritual bahwa manusia sejak dulu sudah punya keinginan menggebu-gebu menjadi penguasa. Rakus. Tidak sekadar penguasa, tetapi menjadi setara atau bahkan lebih tinggi dari penguasa mana pun.
Tak Mau Kalah
Tuhan lantas murkah. Adam dan istrinya terbirit dan bersembunyi. Suara-Nya yang memanggil-manggil bagaikan pelor yang siap menghantam dan mengoyakkan tubuh. Adam dan istrinya ketakutan dan bersembunyi. Tetapi, ketakutan yang lebih besar adalah ketika Adam dan istrinya harus menanggung berbagai penderitaan sebelum akhirnya mati. Teror sejak saat itu resmi mengebut manusia. Itulah teror “dari Tuhan”.
Seperti kita ketahui, manusia tak mau kalah. Jika Tuhan pernah memberikan teror, manusia belakangan pun membuat teror. Terornya bukan main-main. Saking bukan main-mainnya, teror itu konon dilakukan atas nama dan konon katanya atas persetujuan Tuhan. Mencaplok nama Tuhan bukan lagi sebagai sebuah ketakutan. Tujuannya tetap sama: demi kekuasaan. Entah itu politik, ekonomi, ideologi, dan semacamnya.
Yang menggelisahkan, nama Tuhan begitu saja dicaplok dengan sesuka hati: tanpa ketakutan. Dari sini tampaklah bahwa manusia itu tak punya ketakutan apa-apa lagi (karena itu tak punya teror?). Manusia menjadi lebih berani daripada Adam. Jika Adam masih sembunyi ketika Tuhan marah, manusia sekarang malah berkali-kali melakukan “pencurian” di tempat yang terang benderang, atas nama Tuhan pula. Tak ada ketakutan sama sekali! Nah, manusia yang tak punya ketakutan inilah teror terbesar kita. Mereka menghantui kita di mana dan hampir kapan saja.
Ya, teror belakangan ini menjadi semacam kata yang wajib dipahami. Teror menjadi musuh universal. Karena musuh universal, teror menjadi bentuk ketakutan yang luar biasa karena berasal dari manusia yang tak punya rasa takut, rasa malu, rasa sakit, rasa damai. Benar-benar dari orang yang tak punya rasa apa-apa. Bagi mereka, hidup ini hanya permainan bagaimana menakut-nakuti agar dengan itu, pucuk-pucuk kekuasaan digapai.
Teror berakar dan berasal dari bahasa Latin: terrere yang berarti menakut-nakuti, menggigil, atau gemetar. Kita kemudian memungut kata ini dalam bahasa Indonesia dengan pengertian: usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Masih senapas, tetapi sudah modern, terorisme, kata Oxford English Dictionary, adalah sistem teror, kebijakan yang dimaksudkan menimbulkan teror pada orang-orang yang disasarnya.
Disebut sistem karena terorisme bukan semata demi penerbitan ketakutan. Ada maksud-maksud lain yang sudah tersistem. Ini tak semata bagaimana kita memarahi anak supaya takut! Ini tak serupa bagaimana guru mengancam muridnya bahwa besok akan ujian! Ini jelas tak sama dengan bagaimana seseorang mengamuk di jalanan. Ini tak semata tentang ketakutan. Ketakutan hanyalah pintu masuk pada sebuah inti. Ketakutan bukan inti, tetapi sarana.
Dikatakan kebijakan karena ketakutan yang ingin ditimbulkan mencuatkan pesan. Pesan itu diramu dalam bungkusan yang rapi, teroraginisasi, dan penuh dengan perhitungan. Anggota yang mengantarkan ketakutan pun tak dilepas begitu saja mengamuk dan meledakkan diri. Anggota dilatih terlebih dahulu. Otaknya dicuci dan hatinya dilucuti. Anggota ini dibuat menjadi manusia tanpa ketakutan. Jika ketakutan manusia paling besar adalah mati, mereka ini sama sekali tak takut mati. Justru, mati menjadi semacam kode etik bagi mereka.
Beginilah teror yang tersistem: punya bergelimang pesan untuk mencapai tujuan. Perihal berapa banyak yang mati tak menjadi penting, tetapi siapa yang mati, itu yang penting! Jika lebih pada kuantitas, mudah saja bagi mereka meledakkan diri di kerumunan pasar. Tetapi, karena yang penting itu siapa, maka apapun caranya akan ditempuh! Dan, tujuan mereka pun bukan mematikan orang. Jika tujuannya semata mematikan, mudah saja bagi mereka menculik, tanpa ada orang yang tahu. Tetapi, pesannya adalah menciptakan ketakutan.
Kita Sendiri
Maka itu, pertunjukan teror ini tak ubahnya pertunjukan teater. Supaya pesannya tertancap kuat, latar dan unsur teatrikalnya menjadi penting. Alur dan ceritanya pun menjadi bagian dari pokok. Dibuatlah, misalnya, di tempat terang dengan, bentuk pemenggalan yang sadis, pengeboman di tempat-tempat ramai, hinggga menggelantungkan bom atau membajak pesawat. Ceritanya mempunyai alur. Dikait-kaitkan dari cerita yang satu ke cerita yang lain demi sebuah narasi cerita baru.
Celakanya, di tengah kuyupnya teror, kita justru masih sibuk bergumul dengannya. Ada yang mengatakan, teroris merupakan korban dari ketidakadilan. Karena itu, sah saja bagi mereka untuk meledakkan ketakutan. Alih-alih penjahat, mereka disebut pahlawan. Ada yang mengatakan, teroris orang jahanam. Dikatakan jahanam, karena mereka tak punya rasa kemanusiaan
PBB memang sudah menyimpulkan terorisme itu adalah tindak kejahatan yang dimaksudkan atau diperhitungkan akan menimbulkan keadaan teror pada masyarakat, sekelompok orang, atau orang-orang tertentu demi tujuan-tujuan politis. Tetapi ini pun sangat subjektif menurut pikiran kita masing-masing.
Dengan kata lain, teror itu ada pada pikiran kita. Apakah kalau negara berbuat sewenang-wenang sehingga rakyatnya ketakutan dapat disebut teror? Atau, sedemikian jahatnyakah kita hanya karena ketidakadilan negara maka lahir gerakan perlawanan untuk menghalau kesewenang-wenangan negara, tetapi justru kelompok gerakan perlawanan ini yang dicap sebagai teroris? Siapa teroris yang sesungguhnya?
Teror itu sejatinya ada di pikiran kita. Kalau kita takut dan berusaha menyebarkan ketakutan, entah melalui media sosial dan lainnya, kita telah dirasuki teror. Kalau kita berani dan tak menyebarkan ketakutan, tetapi menarik simpul-simpul kekuatan di antara kita, teror tak merasuk di pikiran kita. Memang, perihal adanya sekelompok orang yang kini mengatasnamakan Tuhan yang sudah tak punya rasa takut apa-apa, bahkan terhadap kematian, merupakan teror yang sejati.
Tetapi, bagaimana teror ini akan menyebarkan ketakutan jika di pikiran kita tertancap dalam-dalam bahwa mereka hanya orang yang patut dikasihani dan karena itu mesti dididik lantaran sudah kehilangan rasa takut? Teror mereka tak akan berlaku karena kuncinya ada pada pikiran kita. Kitalah teroris itu dan kita sendirilah yang membasminya. Caranya: memperbaiki laku sendiri, laku keluarga, laku tetangga, dan sebagainya dan sebagainya. Ringkasnya, menyebarkan laku yang baik akan dapat menghalau laku ketakutan. Saya curiga, andai Adam berani mohon ampun, Tuhan tidak akan memberikan teror setengah matang.
Mari berhenti menjadi teroris mulai sekarang!

Riduan Situmorang 
Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan dan AKtif di PLOt Medan

0 comments: