Barangkali teror merupakan pelor kemarahan Sang
Ilahi yang setengah matang ketika (Nabi) Adam berbuat lancung. Tuhan sudah
memberi berjuta-juta kemewahan, bahkan menjadi penguasa atas dunia kepada Adam,
tetapi dia malah tersedot pada kenikmatan semu. Larangan Sang Ilahi dengan
penuh perhitungan dilanggar sehingga Sang Pencipta marah. Yang dimarahi
ketakutan yang lalu bersembunyi. Inilah teror pertama: berasal dari Tuhan
kepada manusia.
Tetapi,
Tuhan tak dapat disalahkan begitu saja sebagai pemberi teror tunggal. Teror itu
merupakan akibat dari keserakahan manusia. Ya, keserakahan yang dilakukan penuh
pertimbangan. Ular menggoda bahwa setelah memakan buah terlarang, manusia akan
dianugerahi sebuah ilmu pengetahuan yang tahu mana yang benar dan mana yang
salah. Manusia melalui Adam berhitung dengan godaan-godaan itu. Apakah baginya
sudah cukup sebagai penguasa ciptaan Tuhan atau harus setara dengan pencipta
itu sendiri?
Ternyata, manusia haus kekuasaan. Manusia teperdaya
oleh godaan setan. Inilah menjadi bukti-spritual bahwa manusia sejak dulu sudah
punya keinginan menggebu-gebu menjadi penguasa. Rakus. Tidak sekadar penguasa,
tetapi menjadi setara atau bahkan lebih tinggi dari penguasa mana pun.
Tak Mau Kalah
Tuhan lantas murkah. Adam dan istrinya terbirit dan
bersembunyi. Suara-Nya yang memanggil-manggil bagaikan pelor yang siap
menghantam dan mengoyakkan tubuh. Adam dan istrinya ketakutan dan bersembunyi.
Tetapi, ketakutan yang lebih besar adalah ketika Adam dan istrinya harus
menanggung berbagai penderitaan sebelum akhirnya mati. Teror sejak saat itu
resmi mengebut manusia. Itulah teror “dari Tuhan”.
Seperti kita ketahui, manusia tak mau kalah. Jika
Tuhan pernah memberikan teror, manusia belakangan pun membuat teror. Terornya
bukan main-main. Saking bukan main-mainnya, teror itu konon dilakukan atas nama
dan konon katanya atas persetujuan Tuhan. Mencaplok nama Tuhan bukan lagi
sebagai sebuah ketakutan. Tujuannya tetap sama: demi kekuasaan. Entah itu
politik, ekonomi, ideologi, dan semacamnya.
Yang menggelisahkan, nama Tuhan begitu saja dicaplok
dengan sesuka hati: tanpa ketakutan. Dari sini tampaklah bahwa manusia itu tak
punya ketakutan apa-apa lagi (karena itu tak punya teror?). Manusia menjadi lebih
berani daripada Adam. Jika Adam masih sembunyi ketika Tuhan marah, manusia
sekarang malah berkali-kali melakukan “pencurian” di tempat yang terang
benderang, atas nama Tuhan pula. Tak ada ketakutan sama sekali! Nah, manusia
yang tak punya ketakutan inilah teror terbesar kita. Mereka menghantui kita di
mana dan hampir kapan saja.
Ya, teror belakangan ini menjadi semacam kata yang
wajib dipahami. Teror menjadi musuh universal. Karena musuh universal, teror
menjadi bentuk ketakutan yang luar biasa karena berasal dari manusia yang tak
punya rasa takut, rasa malu, rasa sakit, rasa damai. Benar-benar dari orang
yang tak punya rasa apa-apa. Bagi mereka, hidup ini hanya permainan bagaimana
menakut-nakuti agar dengan itu, pucuk-pucuk kekuasaan digapai.
Teror berakar dan berasal dari bahasa Latin: terrere yang berarti menakut-nakuti, menggigil, atau gemetar. Kita kemudian memungut kata ini
dalam bahasa Indonesia dengan pengertian: usaha
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Masih senapas, tetapi sudah modern, terorisme, kata Oxford English Dictionary, adalah sistem
teror, kebijakan yang dimaksudkan menimbulkan teror pada orang-orang yang
disasarnya.
Disebut sistem karena terorisme
bukan semata demi penerbitan ketakutan. Ada maksud-maksud lain yang sudah
tersistem. Ini tak semata bagaimana kita memarahi anak supaya takut! Ini tak
serupa bagaimana guru mengancam muridnya bahwa besok akan ujian! Ini jelas tak
sama dengan bagaimana seseorang mengamuk di jalanan. Ini tak semata tentang
ketakutan. Ketakutan hanyalah pintu masuk pada sebuah inti. Ketakutan bukan
inti, tetapi sarana.
Dikatakan kebijakan karena ketakutan
yang ingin ditimbulkan mencuatkan pesan. Pesan itu diramu dalam bungkusan yang
rapi, teroraginisasi, dan penuh dengan perhitungan. Anggota yang mengantarkan
ketakutan pun tak dilepas begitu saja mengamuk dan meledakkan diri. Anggota
dilatih terlebih dahulu. Otaknya dicuci dan hatinya dilucuti. Anggota ini
dibuat menjadi manusia tanpa ketakutan. Jika ketakutan manusia paling besar
adalah mati, mereka ini sama sekali tak takut mati. Justru, mati menjadi
semacam kode etik bagi mereka.
Beginilah teror yang tersistem:
punya bergelimang pesan untuk mencapai tujuan. Perihal berapa banyak yang mati
tak menjadi penting, tetapi siapa yang mati, itu yang penting! Jika lebih pada
kuantitas, mudah saja bagi mereka meledakkan diri di kerumunan pasar. Tetapi,
karena yang penting itu siapa, maka apapun caranya akan ditempuh! Dan, tujuan
mereka pun bukan mematikan orang. Jika tujuannya semata mematikan, mudah saja
bagi mereka menculik, tanpa ada orang yang tahu. Tetapi, pesannya adalah
menciptakan ketakutan.
Kita
Sendiri
Maka itu, pertunjukan teror ini tak
ubahnya pertunjukan teater. Supaya pesannya tertancap kuat, latar dan unsur teatrikalnya
menjadi penting. Alur dan ceritanya pun menjadi bagian dari pokok. Dibuatlah,
misalnya, di tempat terang dengan, bentuk pemenggalan yang sadis, pengeboman di
tempat-tempat ramai, hinggga menggelantungkan bom atau membajak pesawat.
Ceritanya mempunyai alur. Dikait-kaitkan dari cerita yang satu ke cerita yang
lain demi sebuah narasi cerita baru.
Celakanya, di tengah kuyupnya teror,
kita justru masih sibuk bergumul dengannya. Ada yang mengatakan, teroris
merupakan korban dari ketidakadilan. Karena itu, sah saja bagi mereka untuk
meledakkan ketakutan. Alih-alih penjahat, mereka disebut pahlawan. Ada yang
mengatakan, teroris orang jahanam. Dikatakan jahanam, karena mereka tak punya
rasa kemanusiaan
PBB memang sudah menyimpulkan
terorisme itu adalah tindak kejahatan
yang dimaksudkan atau diperhitungkan akan menimbulkan keadaan teror pada
masyarakat, sekelompok orang, atau orang-orang tertentu demi tujuan-tujuan
politis. Tetapi ini pun sangat subjektif menurut pikiran kita
masing-masing.
Dengan kata lain, teror itu ada pada
pikiran kita. Apakah kalau negara berbuat sewenang-wenang sehingga rakyatnya
ketakutan dapat disebut teror? Atau, sedemikian jahatnyakah kita hanya karena
ketidakadilan negara maka lahir gerakan perlawanan untuk menghalau kesewenang-wenangan
negara, tetapi justru kelompok gerakan perlawanan ini yang dicap sebagai
teroris? Siapa teroris yang sesungguhnya?
Teror itu sejatinya ada di pikiran
kita. Kalau kita takut dan berusaha menyebarkan ketakutan, entah melalui media
sosial dan lainnya, kita telah dirasuki teror. Kalau kita berani dan tak
menyebarkan ketakutan, tetapi menarik simpul-simpul kekuatan di antara kita,
teror tak merasuk di pikiran kita. Memang, perihal adanya sekelompok orang yang
kini mengatasnamakan Tuhan yang sudah tak punya rasa takut apa-apa, bahkan
terhadap kematian, merupakan teror yang sejati.
Tetapi, bagaimana teror ini akan
menyebarkan ketakutan jika di pikiran kita tertancap dalam-dalam bahwa mereka
hanya orang yang patut dikasihani dan karena itu mesti dididik lantaran sudah
kehilangan rasa takut? Teror mereka tak akan berlaku karena kuncinya ada pada
pikiran kita. Kitalah teroris itu dan kita sendirilah yang membasminya. Caranya:
memperbaiki laku sendiri, laku keluarga, laku tetangga, dan sebagainya dan
sebagainya. Ringkasnya, menyebarkan laku yang baik akan dapat menghalau laku
ketakutan. Saya curiga, andai Adam berani mohon ampun, Tuhan tidak akan
memberikan teror setengah matang.
Mari berhenti menjadi teroris mulai sekarang!Riduan Situmorang
Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan dan AKtif di PLOt Medan
0 comments:
Post a Comment