Sunday, 21 February 2016

Jangan Mengadili Kata-Kata



Oleh: Riduan Situmorang

Saya tak akan memandang surat edaran yang baru-baru ini dikeluarkan Polri dari sudut hukum. Saya tak paham hukum. Saya akan coba melihatnya dari segi bahasa. Paling tidak, dengan ilmu yang saya dapat dari perkuliahan di salah satu PTN di negeri ini -Bahasa dan Sastra Indonesia- bisa melegitimasi. Setidaknya membantu saya. Mudah-mudahan dapat menjadi pertimbangan atau setidaknya menjadi bahan diskusi bagi kita kelak.

Tentang perkataan yang bisa disamakan dengan ujaran, negeri ini mempunyai nasihat baik: mulutmu adalah harimaumu. Itu masih dalam bentuk larangan. Ketika larangan itu diindahkan, mulut tidak lagi menjadi harimau. Mulut menjadi berkah. Dari sisi religius, Perjanjian Baru juga punya nasihat yang kurang lebih esensinya sama: pada mulanya adalah firman (kata). Semua bermula dari kata. Puisi pun akan disebut menjadi puisi jika dia mampu berkata-kata. Tidak harus verbal, bisa juga dengan keindahan dan gestur alami.

Bukan Pesuruh

Kata Sutardzi dalam kredonya, kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia tidak seperti pipa yang mengalirkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dalam pengertian saya, kata bukan pengantar pesan, tetapi pesan itu sendiri. Kata bukan pesuruh yang bisa disuruh-suruh. Dibelokkan lebih jauh, tetapi masih senapas, kata dapat diibaratkan bukan alat untuk mengantarkan kebencian.

Jika memang dipaksakan, ya, kata-kata itu adalah kebencian itu sendiri. Saya tak bermaksud mengungkapkan, adililah kata-kata karena kata-kata itu sendirilah kebencian itu sendiri.

Saya hanya ingin kita berpikir lebih jauh: apa logis membuat aturan sebagaimana telah dinubuatkan oleh Polri? Darimana nalarnya? Jika pun ada nalarnya, apa ukuran kebencian itu sendiri?

Saya takut, kebencian di sini diterjemahkan secara subjektif. Siapa saja dengan alasan subjektif, apalagi kalau bermaksud represif, tentu bisa merasa semacam dikirimi kebencian, bahkan ancaman, bukan? Lagi pula, bahasa itu sangat licin. Berbagai tafsir dapat berkelindan. Bahkan, semakin banyak tafsir, bahasa itu semakin asyik karena semakin merangsang imajinasi.

Imajinasi tidak sama dengan logika. Menurut Albert Einstein dan saya sepakat, imajinasi lebih tinggi daripada logika. Logika akan mengantar kita dari A ke B, tetapi imajinasi bisa membawa kita kemana-mana. Dari kebencian ke kerinduan. Dari kebencian yang satu ke kebencian yang lain. Logika?

Dia hanya melihat, mengapa lahir kebencian itu? Darimana jalannnya? Sialnya, logika sering kali kalah oleh sebuah niat yang menggebu-gebu. Entah itu untuk melecehkan atau pun untuk meninggikan, sehingga sering logika menjadi tak logis. Tetap dinamai sebagai logika. Benar-benar tak ada logikanya!

Tambahan pula, kata itu adalah lambang, tetapi, ujaran tak dapat dipastikan sebagai representasi konkret dari lambang. Entah itu mengandung kebencian atau pun keindahan. Kita tak dapat mengukur secara pasti kata-kata itu adalah sebuah kebencian atau keindahan.

Kata-kata tetap sesuatu yang absurd. Bentuk, makna dan fungsinya tak mudah ditelaah karena kuyup dalam semesta yang bergelimang. Ada semesta simbol, konteks, persepsi dan bahkan bisa beda nilai rasanya. Kadang amelioratif, kadang peyoratif, tergantung semesta yang bergelimang tadi.

Dalam Meaning of Meaning, Odhen dan Richar, berpendapat, kata bukan sesuatu yang otonom. Sebagai simbol, kata hanya eksis jika berelasi membentuk segitiga makna dengan konsep (thought) dan referensi (reference). Hubungan segitiga ini akan menjadi rumit karena konsep bukanlah objek yang empiris. Dia eksis dalam pikiran manusia. Bagaimana kupikir, begitulah dia.

Seumpama kalimat yang melegenda ini: cogito ergo sum. Siapa bilang kalimat ini salah? Kalau saya berpikir sebagai harimau, ya, saya harimau. Anda tak boleh protes meski melihat saya tak bertaring. Sebab, masalahnya ada dalam pikiran, ternyata saya bertaring. Itulah imajinasi saya dan sayang, logika Anda tak mampu menembusnya.

Kecelakaan Berpikir

Referensi dan konteks beda lagi. Bisa menjadi sangat liar. Zaman sekarang, orang sepertinya didoktrin, dengan menyebut kata aku kepada orang yang lebih tua tidak sopan. Tidak sopan berarti tak hormat. Berarti, ada kebencian di sana. Apakah saya harus membaca puisi “Aku” karya Chairil Anwar dengan saya adalah binatang jalang? Inilah salah satu bukti, ternyata bahasa itu liar dan liat.

Belum lagi kalau kita lihat rasa dan gaya bahasa. Bisa saja dengan kata-kata halus kita menyampaikan luapan emosi yang bergelimang kebencian, murka, serapah. Ironi dan eufemisme contohnya.

Demikian juga sebaliknya. Kepada pacar saya, dia cantik, sering saya panggil jelek, bahkan monyet. Jika kata monyet saya gunakan, tepat pula di saat itu kami pertama kali jumpa dengan orang tuanya, misalnya. Apakah calon mertua harus memidanakan karena merasa, saya sudah menghina putri satu-satunya?

Bagaimana kalau kebetulan sakin kagumnya saya berkata, wah, gila benar calon mertuaku ini. Maksud saya gila dalam artian wah. Eh, ternyata justru ditangkap berbeda dan mengakui dikatai sebagai orang gila?

Atas dasar itu, surat edaran yang dibuat oleh Polri, menurut saya, sangat liar untuk tidak menyebut sesat. Dalam istilah Jaya Suprana disebut kelirumologi. Kelirunya begini, apakah seseorang akan disebut baik hanya karena ujarannya baik, padahal bisa jadi karena ada maunya? Munafik kata Mochtar Lubis! Sebaliknya, apakah seseorang akan disebut iblis hanya karena kritiknya kepada pejabat jahanam misalnya?

Baiklah, baiklah, baiklah, terserah apa kata Anda! Pastinya, bagi saya tetap, seseorang akan disebut baik karena berbuat baik. Seseorang disebut jahat karena berbuat jahat.

Intinya adalah perbuatan, bukan kata-kata. Meski perbuatan merupakan manifestasi dan aktualisasi dari kata-kata, pikiran, dan keinginan. Perbuatan baik terjadi karena keinginan baik. Keinginan atau maksud baik menjadi kenyataan perbuatan baik kalau didasari pemikirannya yang benar. Dengan kata lain, episentrumnya ada pada pikiran, jauh ke dalam, bukan ke luar.

Lagipula, kesalahan berucap bermula dari kesalahan berpikir. Kesalahan berpikir bermula dari kegagalan memaknai kata.

Keluarnya surat edaran ini berarti ada kecelakaan berpikir. Ini terjadi karena kuatnya gerakan tarik-menarik antara kepentingan dan kekuatan yang ingin coba represif dan membatasi.

Kesalahan berujar, menurut saya, titik persoalannya justru ada pada pikiran, niat. Jadi, tak perlu menghakimi mulut, apalagi kata-katat! Hakimilah pikiran! Kalau tak bisa, ajarilah pikiran itu melalui pendidikan yang berbudi pekerti dan teladan. Seribu kata nasihat dan bahkan aturan akan kalah dari teladan.

Penulis; Peminat Sastra dan Aktif di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

0 comments: