Sunday, 21 February 2016

Darurat Peradaban


Url Berita


Oleh: Riduan Situmorang

Di tengah kepungan informasi, menu­rut saya, manusia kini sudah di ambang kepunahan. Betapa tidak, ma­nusia dikebut oleh target demi target­nya. Kekeluargaan, pertemuan, go­tong royong, silaturahim, doa-doa ber­­sama sudah menjadi barang usang. Keper­cayaan sebagai modal persau­da­raan sudah pudar. Pertemuan sebagai aspek utama kelekatan sudah luntur. Manusia sudah lebih doyan menyendiri.

Manusia kesepian? Tidak juga! Manusia hanya berubah menjadi sosok yang individualis. Egosentris. Semua dijangkarkan dan dipusatkan pada dirinya sendiri. Orang lain tidak ada dan ditiadakan. Sekitar menjadi latar belakang yang tak penting. Keru­munan dan kebisingan menjadi musik pengiring. Sama sekali tak penting karena bukan menjadi bagian terinte­grasi dengan kehidupan itu. Sama sekali juga bukan pengatur ritme.

Manusia mendadak alergi bertemu dengan manusia lainnya. Setidaknya, gejala ini sudah mulai terlihat (apa sengaja dibuat demikian untuk memu­nahkan manusia?) ketika manusia lebih suka bertransaksi melalui mesin ATM. Semua serba mesin. Memba­yar tagihan, melalui mesin; mengun­dang ke pesta, melalui mesin; bersila­turahim, melalui mesin; sampai ke pesta atau pertemuan, yang dilahap juga mesin. Manusia me­ngang­­garkan mesinnya masing-masing.

Mekanis

Manusia menjadi mekanis. Perte­muan menjadi dangkal, kering, dan tak ber­substansi. Semua sibuk dan menyibukkan diri dengan kesen­dirian. Meski pertemuan digagas semacam temuh ramah atau reuni, bukti­nya mereka tak jadi bereuni (ber­satu kembali). Bagaimana tidak, percakapan sangat dingin. Sentuhan demi sentuhan tak bermakna, kecuali semata simbol. Sudah serba virtual. Sibuk berselancar ke balik gadget. Di sana, manusia meng­akrabi dunia maya, dunia khayalan. Tak bisa disentuh, tetapi didoyani.

Manusia mendadak terasing dari lingkungan. Persahabatan pun dikal­kulasikan melalui hitungan, bukan seberapa lekat. Wujudnya bisa berupa seberapa banyak teman di FB, seberapa banyak pengikut di Twitter, se­berapa aktif di Instagram. Meski me­reka tak saling mengenal karena tak saling jumpa, mereka akan terbahak bersama-sama. Keter­bahak-bahakan itu kemudian dikirimkan melalui emoticon. Ada yang saling peluk, saling cium, saling salam, tetapi dari simbol. Tak ada persen­tuhan.

Begitu seterusnya. Maka itu, meja pertemuan, jika misalnya itu di kafe, jangan berharap ada kata-kata yang berhamburan. Ini menjadi sesuatu yang muskil. Mustahil. Mereka hanya numpang foto. Difotolah makanan, difoto keluarga, kemudian diunggah ke media sosial. Dibiknilah kata-kata bergairah tentang sebuah keluarga harmonis, tetapi hanya di media sosial. Anggota keluarga lain hanya pemeran sampingan. Tempat tong­kro­ngan pun sebatas latar belakang. Inti pertemuan itu adalah mengung­gah kenyataan ke dunia tak nyata.

Di dunia tak nyata itu, sobat-sobat media sosial diharapkan saling berko­mentar. Beimajinasi agar ada yang me­ngatakan, wah, sungguh sebuah keluar­ga yang romantis. Tetapi sung­guhkah itu romantis sebab mereka yang difoto sama sekali tak berbicara? Anggota keluarga hanya sibuk mengunggah foto masing-masing. Komentar tentang foto itu tak diminta dari keluarga, tetapi dari teman media sosial yang sama sekali tak dikenal, dari orang yang jauh di balik gadget.

Skemanya menjadi begini: teman di kenyataan jadi maya, teman di maya menjadi “kenyataan”. Men­jauh­kan yang dekat, mendekatkan yang jauh, tetapi bukan kedekatan yang sungguh-sungguh karena mereka hanya dilekati oleh simbol. Inilah darurat peradaban kita. Manu­sia tak lagi menganggap manusia nyata sebagai keluarga.

Manusia sudah menganggap yang ada menjadi ketiadaan dan ini adalah sebuah upaya atau legitimasi bahwa manusia sudah punah. Dengan kata lain pula, manusia sudah member­halakan kema­yaan. Inilah barangkali yang dibilang Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang memercayai takhayul.

Ya, manusia sudah kehilangan irama dan ritmenya. Kita seumpama puisi tanpa judul, seumpama waktu tak berkejadian, seumpama tubuh tak berjiwa. Tak ada lagi rasa, tak ada tole­ransi, tak ada maaf. Kecepatan menjadi Tuhan sehingga kalau ter­lambat, kita menyebutnya sebagai yang tak tahu disiplin sehingga harus dihukum tanpa ampun. Kita tak lagi dibekali rasa sabar menunggu dan menikmati. Kita melulu ingin lebih cepat, cepat, dan cepat.

Wujudnya sudah terlihat vulgar ketika media-media cetak sudah tak lagi dirindukan. Tak ada lagi deskripsi bagaimana sesosok dengan sumri­ngah dengan segelas teh mengakrabi koran. Benar-benar disentuh, bukan diimaji­nasikan. Tak bertuah lagi apa yang dibilang Hegel dua abad lalu bahwa membaca koran pagi adalah doa pagi seorang realis. Realis, bukan mayais, jika kata itu ada! Dengan doa dan koran, sebagai­mana dikutip Goenawan Moha­mad, arah pandang seseorang dibentuk. Keduanya memberi rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri. Bukan maya, takha­yul, dan bayang-bayang!

Ibarat Monyet

Tetapi begitulah, kita sudah tak peduli bahwa karena kecepatan kita tergilas. Tak ada maaf sehingga on time menjadi kewajiban, manakala itu melempem, hubungan akan renggang karena sudah dirasuki paham ekstrem: time is money. Karena money, yang diperhitungkan manusia ke manusia lainnya kini hanya sisi bisnisnya, bukan lagi pada apakah karena time itu kita bisa mempunyai waktu untuk menikmati kehidupan atau tidak. Manusia diperbudak oleh target sehingga yang ada hanya deadline dan deadline.

Alhasil, manusia ibarat monyet yang suka meloncat dan meloncat. Sebentar meloncat ke subjek sini, sebentar lagi meloncat ke subjek sana. Celakanya, kita tidak menikmati, bahkan tidak memahami apa itu loncatan. Kita hanya meloncat semata untuk meloncat tanpa berpikir mendiami dan menikmati subjek yang berhasil dia tempuh. Piki­ran kita dicekoki kecepatan, target, target, dan lagi-lagi target. Akibatnya, manusia kini banyak yang stres, struk, bahkan meninggal mendadak. Tetapi siapa peduli karena manusia tak lagi digerakkan hati, tetapi insting yang penuh kerakusan.

Bagi kita, meninggal itu sudah ibarat siklus yang tak perlu ditangisi. Meninggal merupakan puncak perhi­tu­ngan waktu secara kuantitatif. Tak perlu bersedih, bila perlu tak usah dije­nguk. Time is money. Cukup diki­rimi papan bunga. Atau, kirim pesan melalui mesin. Perjumpaan tak perlu. Lalu, wafatlah teori yang digagas fil­suf Emmanuel Levinas (1906-1995) bahwa wajah dipandang sebagai syarat utama perjumpaan.

Bagi Levinas, hidup bersama adalah hidup yang terus berdenyut dengan pertemuan antarwajah. Tetapi bagi kita, hidup tak perlu berdenyut, cukup mekanis dan otomotis. Bila perlu, dan bahkan kita sudah sedang mencari bagaimana be­reproduksi tanpa perka­wi­nan. Maknanya itu adalah, kita tak usah lagi memerlukan orang lain. Jika semua orang sudah merasa tak memerlukan orang lain, di sinilah terjadi peniadaan satu sama lain. Darurat peradaban pun menya­troni kita.***

Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan.

0 comments: