Riduan Situmorang--Uang sebagaimana dikatakan oleh Sophocles merupakan
hasil kebudayaan terburuk karena dengan uang, kita bisa membunuh yang walapun
bisa membantu. Dalam hal yang lebih konspiratif, uang pun bisa diperalat
menjadi candu sehingga dia menjadi pembunuh dalam nama membantu. Sebagai misal,
pada masa pemilu, banyak orang menggandrungi uang. Kata kita, Si Anu memberi
uang, maka dialah orang yang tepat untuk memimpin. Kita tidak tahu—atau mungkin
juga pura-pura tak tahu—bahwa belakangan, uang yang diberikan Si Anu tadi rupanya
menjadi tumbal atas “keselamatan” kita. Begitulah uang, menyenangkan, tetapi
bisa juga menenggelamkan.
Sama
dengan uang, agama pun ternyata dapat diterjemahkan sebagai hasil kebudayaan terburuk
pula. Hal itu tidak berlebihan karena dengan dan demi agama, manusia banyak
yang tewas sia-sia. Ada yang bunuh diri atas nama jihad dan martir, ada pula
yang membunuh atas nama membela dan memurnikan agama. Hal ini tentu saja sangat
paradoksal karena seperti kita tahu, agama apa pun pada prinsipnya tidak pernah
mengajarkan pembunuhan. Agama apa pun tidak pernah memaksakan. Agama apa pun
tidak pernah menistakan. Akan tetapi, yang kita lihat kemudian, dalam
sejarahnya, penyebaran agama tidak pernah berjalan mulus. Selalu ada yang
dikorbankan, entah itu melalui penjajahan, pernikahan paksa, dan pemaksaan
ideologi.
Agama sebagai
Ilmu
Hal
itu semakin kompleks lagi karena, belakangan ada semacam penyakit sindrom agama
sehingga dia dimaknai secara berlebihan. Agama yang hanyalah ide untuk
menyelamatkan manusia dari kekacauan diterjemahkan menjadi semacam kumpulan.
Dalam hal ini, agama berubah menjadi organisasi dimana kitab suci menjadi ADRT.
Celakanya, ADRT itu tidak pernah diusahakan diterjemahkan dalam konteks
kekinian. Maka, jadilah kitab suci benar sepanjang masa dan dimana saja serta agama
yang harusnya toleran dan fleksibel menjadi kaku dan otoriter. Apabila
seseorang berpikiran maju atau moderat, misalnya, memberi pengarahan, mereka
akan menghakiminya sebagai yang kafir.
Kata
mereka, kata-kata Tuhan tidak bisa diubah redaksinya. Apabila kemudian hal itu
diubah, kemurnian agama tercemar sehingga kafir. Celakanya, setiap agama selalu
mendahulukan keakuan masing-masing. Jika pun tidak, untuk tidak menyebut
fanatik, mereka memosisikan agama orang lain sebagai hal yang tidak bisa
diganggu dengan motif agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Akan
tetapi pada faktanya, mereka selalu berlomba memperbanyak anggota melalui
dakwah dan penginjilan misalnya sehingga jadilah agama sebagai barang dagangan
yang diobral begitu saja di lapangan.
Maka,
ukuran keberhasilan agama kini dilihat dari seberapa banyak anggota, bukan dari
seberapa mendalam ajaran itu diaplikasikan. Untuk menambah gengsi, mereka
membikin semacam filsafat agama untuk kemudian diajarkan di universitas. Di
sini, agama kembali dipandang sebagai objek ilmu, bukan sebagai ajaran. Entah
untuk alasan apa, jadilah isi kitab suci dipelajari dan disesuaikan
kebenarannya pada dunia realitas. Ketika isi kitab suci, misalnya, relevan
dengan kenyataan, mereka berkata: kami benar sementara yang lain tidak atau katakanlah
masih menerka-nerka.
Pada yang lebih parah, jadilah isi kitab suci
diperbandingkan dan dihadapkan secara head
to head. Kita tahu, kalau sudah sampai pada taraf ini semua akan saling
mendaku sehingga yang mereka pikirkan, bagaimana kemudian memenangkan agamanya.
Maka, dalam hal ini, agama sudah menjadi objek kajian ilmu, bukan lagi sebagai
pedoman untuk membenahi laku. Ironisnya, walapun kemudian agama itu dibikin
semacam objek kajian ilmu, dia tetap saja dipandang dengan nalar yang sering
menyimpang dari rasio. Buktinya, andai rasio benar-benar dilibatkan dalam ilmu
kajian agama, sudah pasti setiap agama akan merasa bersaudara karena mempunyai
Bapak yang sama.
Akan tetapi, sekali lagi, mereka tidak mempunyai
rasio, beririsan pun tidak. Yang kemudian mereka kedepankan—atau setidaknya
ditanamkan secara perlahan—adalah agama dipandang sebagai kebenaran kaku. Maka,
setiap pengikutnya pun secara tidak sadar memandang agamanya sebagai yang benar
dan yang lain tidak. Karena yang lain tidak, yang merasa benar tadi mencoba
membenarkan jalan yang salah. Ketika kemudian yang mereka anggap salah tidak
menerima, cara-cara kejam pun berkelindan, entah itu dengan cara yang tampak
ataupun yang senyap. Imbasnya, logika rakyat dari yang harusnya
rasional-konstruktif berubah dan diubah menjadi emosinal-konfrontatif.
Maka,
lihatlah kemudian, masalah agama tidak berhenti dan ada sinyal tidak akan berhenti.
Hal itu terjadi karena penyebaran agama juga tidak akan berhenti. Ironisnya,
usia ribuan tahun yang penyebarannya sudah menewaskan berjuta-juta orang, sudah
memaksa berjuta-juta orang, sudah menjajah berjuta-juta orang, tidak cukup
menjadi bahan pelajaran dan refleksi. Maka, diperkirakan, (untuk tidak
mengatakan sudah pasti) agama ke depan juga akan selalu begini, menewaskan atas
nama jihad, memaksa atas nama membenarkan, menjajah atas nama menyucikan
sehingga wajah agama yang harusnya menyayangi pun akan menjadi menganiaya. Yang
harusnya mengasihi menjadi menghabisi.
Hal
itu setidaknya tergambar pada mereka yang tergabung pada Boko Haram, ISIS, dan ekstremis
lainnya sehingga tidak ada lagi ruang untuk berdiskusi, apalagi bertoleransi. Semua
dilahap sebagai konsepsi agama tertentu. Maka, jadilah penjarahan, pengeboman,
penculikan, pemenggalan, ironisnya, hal itu semua dipertontonkan di media
sehingga agama kini menjadi komplotan kekerasan yang hampir menisbikan
kedamaian. Logikanya, setelah perang ada damai.
Beririsan
Padahal, jika merunut masa awalnya,
agama demikian indah untuk dihidupi karena tidak ada satu agama pun yang
mengatakan perang sebagai jalan untuk damai. Bahkan, mereka dulu berdampingan,
termasuk Muhammad SAW yang memercayakan kedudukan raja pada seorang Nasrani dan
belas kasih dari Yesus kepada orang Samawi. Masih banyak contoh lain yang
menggambarkan agama itu selalu beririsan, bukan bersinggungan. Sebut misalnya
perkawinan pemikir antara Kristen dan Islam berabad-abad lalu. Seorang pemikir Islam,
Al-Farabi, misalnya, yang lahir pada 872 di Farab, sangat dipengaruhi oleh
berbagai filsafat Kristen dan Yunani. Al-Farabi juga sempat berguru kepada
cendekiawan Kristen di Nastura.
Beberapa pemikir Islam
sesudahnya, seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd, juga turut mengembangkan pemikiran
Yunani. Ibn Sina (980-1037) berpendapat bahwa Tuhan tidak mengurusi
hal-hal pribadi yang dilakukan manusia. Ibn Sina mempengaruhi banyak filsuf
Barat, seperti Thomas Aquinas, yang dianggap sebagai salah satu pemikir
terpenting dalam agama Kristen. Memang, Aquinas pernah dikritik karena
persinggungannya dengan filsuf Islam sempat muncul. Akan tetapi, Gereja
kemudian menghargainya sehingga pada 1323, Paus Yohanes XXII memberi gelar
santo kepadanya.
Celakanya, kisah indah itu
hanya sebentar karena pada tahap selanjutnya, agama menjadi legitimasi untuk
berperang. Manusia, yang seperti kata Ibn Sina Tuhan saja tidak mengurusi
hal-hal pribadi, justru mengurusinya, bahkan mencampurinya dengan kemudian
memaksa. Ya, itulah yang kini tersisa dari agama sehingga Afrika, Timur Tengah,
dan berbagai belahan dunia lainnya selalu sibuk dengan kekerasan yang ekstrem.
Dalam hati saya menyeletuk, lebih baik tidak mengenal agama, tetapi mengenal
kasih daripada mengenal agama, tetapi hanya mengenal pedih.
Penulis Aktif di Pusat Latihan Operta Batak Medan
0 comments:
Post a Comment