Saturday, 27 February 2016

APa yang Tersisa dari Agama

Riduan Situmorang--Uang sebagaimana dikatakan oleh Sophocles merupakan hasil kebudayaan terburuk karena dengan uang, kita bisa membunuh yang walapun bisa membantu. Dalam hal yang lebih konspiratif, uang pun bisa diperalat menjadi candu sehingga dia menjadi pembunuh dalam nama membantu. Sebagai misal, pada masa pemilu, banyak orang menggandrungi uang. Kata kita, Si Anu memberi uang, maka dialah orang yang tepat untuk memimpin. Kita tidak tahu—atau mungkin juga pura-pura tak tahu—bahwa belakangan, uang yang diberikan Si Anu tadi rupanya menjadi tumbal atas “keselamatan” kita. Begitulah uang, menyenangkan, tetapi bisa juga menenggelamkan.

            Sama dengan uang, agama pun ternyata dapat diterjemahkan sebagai hasil kebudayaan terburuk pula. Hal itu tidak berlebihan karena dengan dan demi agama, manusia banyak yang tewas sia-sia. Ada yang bunuh diri atas nama jihad dan martir, ada pula yang membunuh atas nama membela dan memurnikan agama. Hal ini tentu saja sangat paradoksal karena seperti kita tahu, agama apa pun pada prinsipnya tidak pernah mengajarkan pembunuhan. Agama apa pun tidak pernah memaksakan. Agama apa pun tidak pernah menistakan. Akan tetapi, yang kita lihat kemudian, dalam sejarahnya, penyebaran agama tidak pernah berjalan mulus. Selalu ada yang dikorbankan, entah itu melalui penjajahan, pernikahan paksa, dan pemaksaan ideologi.
Agama sebagai Ilmu
            Hal itu semakin kompleks lagi karena, belakangan ada semacam penyakit sindrom agama sehingga dia dimaknai secara berlebihan. Agama yang hanyalah ide untuk menyelamatkan manusia dari kekacauan diterjemahkan menjadi semacam kumpulan. Dalam hal ini, agama berubah menjadi organisasi dimana kitab suci menjadi ADRT. Celakanya, ADRT itu tidak pernah diusahakan diterjemahkan dalam konteks kekinian. Maka, jadilah kitab suci benar sepanjang masa dan dimana saja serta agama yang harusnya toleran dan fleksibel menjadi kaku dan otoriter. Apabila seseorang berpikiran maju atau moderat, misalnya, memberi pengarahan, mereka akan menghakiminya sebagai yang kafir.
            Kata mereka, kata-kata Tuhan tidak bisa diubah redaksinya. Apabila kemudian hal itu diubah, kemurnian agama tercemar sehingga kafir. Celakanya, setiap agama selalu mendahulukan keakuan masing-masing. Jika pun tidak, untuk tidak menyebut fanatik, mereka memosisikan agama orang lain sebagai hal yang tidak bisa diganggu dengan motif agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Akan tetapi pada faktanya, mereka selalu berlomba memperbanyak anggota melalui dakwah dan penginjilan misalnya sehingga jadilah agama sebagai barang dagangan yang diobral begitu saja di lapangan.
            Maka, ukuran keberhasilan agama kini dilihat dari seberapa banyak anggota, bukan dari seberapa mendalam ajaran itu diaplikasikan. Untuk menambah gengsi, mereka membikin semacam filsafat agama untuk kemudian diajarkan di universitas. Di sini, agama kembali dipandang sebagai objek ilmu, bukan sebagai ajaran. Entah untuk alasan apa, jadilah isi kitab suci dipelajari dan disesuaikan kebenarannya pada dunia realitas. Ketika isi kitab suci, misalnya, relevan dengan kenyataan, mereka berkata: kami benar sementara yang lain tidak atau katakanlah masih menerka-nerka.
Pada yang lebih parah, jadilah isi kitab suci diperbandingkan dan dihadapkan secara head to head. Kita tahu, kalau sudah sampai pada taraf ini semua akan saling mendaku sehingga yang mereka pikirkan, bagaimana kemudian memenangkan agamanya. Maka, dalam hal ini, agama sudah menjadi objek kajian ilmu, bukan lagi sebagai pedoman untuk membenahi laku. Ironisnya, walapun kemudian agama itu dibikin semacam objek kajian ilmu, dia tetap saja dipandang dengan nalar yang sering menyimpang dari rasio. Buktinya, andai rasio benar-benar dilibatkan dalam ilmu kajian agama, sudah pasti setiap agama akan merasa bersaudara karena mempunyai Bapak yang sama.
Akan tetapi, sekali lagi, mereka tidak mempunyai rasio, beririsan pun tidak. Yang kemudian mereka kedepankan—atau setidaknya ditanamkan secara perlahan—adalah agama dipandang sebagai kebenaran kaku. Maka, setiap pengikutnya pun secara tidak sadar memandang agamanya sebagai yang benar dan yang lain tidak. Karena yang lain tidak, yang merasa benar tadi mencoba membenarkan jalan yang salah. Ketika kemudian yang mereka anggap salah tidak menerima, cara-cara kejam pun berkelindan, entah itu dengan cara yang tampak ataupun yang senyap. Imbasnya, logika rakyat dari yang harusnya rasional-konstruktif berubah dan diubah menjadi emosinal-konfrontatif.
            Maka, lihatlah kemudian, masalah agama tidak berhenti dan ada sinyal tidak akan berhenti. Hal itu terjadi karena penyebaran agama juga tidak akan berhenti. Ironisnya, usia ribuan tahun yang penyebarannya sudah menewaskan berjuta-juta orang, sudah memaksa berjuta-juta orang, sudah menjajah berjuta-juta orang, tidak cukup menjadi bahan pelajaran dan refleksi. Maka, diperkirakan, (untuk tidak mengatakan sudah pasti) agama ke depan juga akan selalu begini, menewaskan atas nama jihad, memaksa atas nama membenarkan, menjajah atas nama menyucikan sehingga wajah agama yang harusnya menyayangi pun akan menjadi menganiaya. Yang harusnya mengasihi menjadi menghabisi.
            Hal itu setidaknya tergambar pada mereka yang tergabung pada Boko Haram, ISIS, dan ekstremis lainnya sehingga tidak ada lagi ruang untuk berdiskusi, apalagi bertoleransi. Semua dilahap sebagai konsepsi agama tertentu. Maka, jadilah penjarahan, pengeboman, penculikan, pemenggalan, ironisnya, hal itu semua dipertontonkan di media sehingga agama kini menjadi komplotan kekerasan yang hampir menisbikan kedamaian. Logikanya, setelah perang ada damai.
Beririsan
Padahal, jika merunut masa awalnya, agama demikian indah untuk dihidupi karena tidak ada satu agama pun yang mengatakan perang sebagai jalan untuk damai. Bahkan, mereka dulu berdampingan, termasuk Muhammad SAW yang memercayakan kedudukan raja pada seorang Nasrani dan belas kasih dari Yesus kepada orang Samawi. Masih banyak contoh lain yang menggambarkan agama itu selalu beririsan, bukan bersinggungan. Sebut misalnya perkawinan pemikir antara Kristen dan Islam berabad-abad lalu. Seorang pemikir Islam, Al-Farabi, misalnya, yang lahir pada 872 di Farab, sangat dipengaruhi oleh berbagai filsafat Kristen dan Yunani. Al-Farabi juga sempat berguru kepada cendekiawan Kristen di Nastura.
Beberapa pemikir Islam sesudahnya, seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd, juga turut mengembangkan pemikiran Yunani. Ibn Sina (980-1037) berpendapat bahwa Tuhan tidak mengurusi hal-hal pribadi yang dilakukan manusia. Ibn Sina mempengaruhi banyak filsuf Barat, seperti Thomas Aquinas, yang dianggap sebagai salah satu pemikir terpenting dalam agama Kristen. Memang, Aquinas pernah dikritik karena persinggungannya dengan filsuf Islam sempat muncul. Akan tetapi, Gereja kemudian menghargainya sehingga pada 1323, Paus Yohanes XXII memberi gelar santo kepadanya. 
Celakanya, kisah indah itu hanya sebentar karena pada tahap selanjutnya, agama menjadi legitimasi untuk berperang. Manusia, yang seperti kata Ibn Sina Tuhan saja tidak mengurusi hal-hal pribadi, justru mengurusinya, bahkan mencampurinya dengan kemudian memaksa. Ya, itulah yang kini tersisa dari agama sehingga Afrika, Timur Tengah, dan berbagai belahan dunia lainnya selalu sibuk dengan kekerasan yang ekstrem. Dalam hati saya menyeletuk, lebih baik tidak mengenal agama, tetapi mengenal kasih daripada mengenal agama, tetapi hanya mengenal pedih.

Penulis Aktif di Pusat Latihan Operta Batak Medan

0 comments: