Oleh Riduan Situmorang
Ketika beberapa waktu lalu turut diundang di Forum Pembaca Kompas di Hotel Santika Medan, saya mengamini benar apa yang dikatakan oleh narasumber Kompas bahwa zaman batu tidak serta-merta berakhir karena habisnya batu. Buktinya, zaman batu “pernah” musnah, padahal batu masih banyak. Sebenarnya, perumpamaan demikian dilontarkan sebagai jawaban atas pertanyaan sampai kapan media cetak akan eksis. Jawaban terbaik saat itu adalah bahwa media cetak tak tergantung pada habis tidaknya kertas. Seumpama zaman batu yang “pernah” berakhir bukan karena batu habis dari peredaran. Begitu juga media cetak tidak terpengaruh pada ada tidaknya kertas. Semua tergantung selera masyarakat, tentu juga teknologinya.
Tetapi, teknologi bukan segalanya. Dia juga punya batasan. Dulu, para nenek moyang di era zaman batu, ratusan ribu tahun silam, menggunakan batu sebagai alat. Hal itu terjadi karena mereka belum mengenal kapak besi, pisau, tombak, apalagi senjata api. Mau tak mau, pilihan hanya batu. Dan, batu saat itu sangat multifungsi semisal membuat api, berburu, hingga “beribadah”. Konon, batu besar menjadi tempat sakral bagi mereka.
Pun, menurut kesepakatan sejarah, zaman batu ini masih terbagi-bagi, ada zaman batu madya, zaman batu muda, atau zaman batu besar. Yang pasti, zaman ini merupakan zaman prasejarah. Tak ada bukti otentik, tetapi ada fakta-fakta yang mengarah ke sana.
Karena Selera
Kini, setelah beberapa ratus ribu tahun terlampaui, zaman batu kembali mendarat, namanya batu akik. Kata Putu Setia sembari berseloro, ini zaman batu kecil. Pesona dan geliatnya tak tanggung-tanggung, masyarakat berbondong-bondong membelinya. Dimana-mana batu akik dipajangkan, di situ orang akan berkerumun. Hampir-hampir mengalahkan emas dan berlian. Iseng-iseng, saya pernah menanyakan harganya, oh, saya merinding mendengarnya yang selangit, setidaknya menurut saya. Teman saya malah aji mumpung pergi ke sana kemari mencari batu akik sebagai bisnis barunya.
Yang sepintas lebih elegan lagi, rupanya diskusi dan pameran khusus pun dibuat tentangnya semisal di Bojonegoro (Jawa Tengah), di Pinrang (Sulawesi Selatan). Itu masih yang resmi, belum lagi kalau kita mendengar percakapan anak-anak, ibu-ibu, om-om, semua seakan tercurah pada batu akik. Yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba saja Bupati Purbalingga mewajibkan pegawai negeri di kabupatennya mengenakan akik. Terserah, untuk cincin atau liontin. Maka dalam hati saya bertanya, apakah batu akik nilai budayanya sedemikian kental sehingga dia harus dikenakan? Entahlah, kiranya perlu studi khusus dari para antropolog dan sosiolog untuk yang satu ini.
Mengapa, apa itu berlebihan? Sekilas itu berlebihan dan kurang kerjaan. Tetapi jangan salah dan jangan sampai pusing memikirkannya karena sesungguhnya begitulah terminologi selera. Dia selalu bisa mengubah perilaku. Dalam hal ini, teknologi memang bisa mengubah, tetapi seleralah sesungguhnya yang mengubah. Anda selera presiden kurus, silakan! Anda selera pada yang gendut juga silakan. Artinya, selera itu tak terbatas. Yang tak masuk akal bisa menjadi kebiasaan, itu karena selera. Yang sepintas tak bernilai menjadi berharga, itu karena selera.
Selera itu bahkan bisa merambah pada taraf-taraf yang transsendental. Maka, para fanatis batu akik menyebutnya sebagai yang berkhasiat. Mereka tak peduli apakah itu menyalahi norma, nalar, atau agama, yang penting selera. Kata mereka, rendamlah batu akik, diamkan sejenak, lalu minum, maka penyakitmu akan sembuh. Darimana nalarnya? Apa itu tak melanggar norma? Apa itu tak merendahkan agama? Aduh, rupanya dalam menghadapi batu akik, kita tak perlu melibatkan nalar, norma, apalagi agama. Cukup selera. Begitu saja.
Ini pun masalah selera saja. Apakah Anda akan selera menerimanya tergantung Anda. Katanya, Jokowi bisa “memutus” Budi Gunawan tanpa huru-hara itu karena khasiat batu akik. Budi Gunawan bisa menang dipraperadilan, itu karena batu akik. Abraham Samad ditersangkakan, itu karena batu akiknya kurang berkhasiat, atau kalah khasiat dari milik-milik orang lain. Maka, di sini khasiat berepisentrum pada besar tidaknya, mahal tidaknya, bukan terbukti atau tidaknya. Lagipula, bukti itu tetap tergantung selera, kok!
Jangan Terulang Sempurna
Nah, apa itu selera? Mahluk apa itu? Tak usah buru-buru mencari dan membuka kamus, apalagi mencari daftar nama hewan. Selera itu merupakan selera itu sendiri, sangat subjektif. Dia hampir tak mengenal apa-apa, kecuali hasrat dan warna. Dia juga buta, tepatnya buta harga. Dia hanya butuh warna. Maka, tak hanya ratusan ribu, batu akik yang kecil itu harganya bisa menembus harga berjuta-juta. Yang lebih menghebohkan, batu akik bergambar Yesus dan Ratu Kidul dikabarkan dihargai Rp5 miliar. Gila! Tapi, begitulah selera, sekali lagi, dia benar-benar buta harga.
Nah, bagaimana kita memaknai pesona dan demam batu akik ini? Secara berseloro, saya menganggapnya sebagai jalan kembali dari kita untuk bereuni ke zaman batu. Di zaman ini, manusia hampir tak punya nalar. Kalaupun punya, manusia tak tahu menggunakannya. Maka, manusia secara tak sadar akhirnya tak punya pendirian yang tepat. Mereka tiba-tiba sudah berpindah-pindah. Nomaden istilahnya. Dalam istilah hari ini, kadang mendukung KPK, kadang pula melecehkannya. Yang lebih tragis, katanya menguatkan KPK, tetapi justru melemahkannya. Itulah nomaden. Tak jelas dan tak berpijak. Semua serba kadang dan kadang.
Apa ada nalar? Tidak! Kalaupun punya, itu juga tak digunakan. Logikanya, mana mungkin batu yang kecilnya demikian malah dihargai fantastis, bahkan di Purbalingga diwajibkan? Dalam konteks mutakhir, manusia yang sesungguhnya mengamini dan meyakini bahwa hidup dan mati merupakan hak Tuhan, tetapi manusia justru berhak memutusnya. Kata mereka, ini hukum mati. Darimana nalarnya? Kok manusia yang sama sekali tak tahu merawat, apalagi menciptakan nyawa bisa-bisa memutusnya secara sepihak?
Normanya apa pula? Sudahlah, pada zaman batu, berbicara tentang norma hanya pembicaraan yang sia-sia. Kita hanya berharap, semoga zaman batu yang silam tidak terulang secara sempurna untuk periode ini. Andai itu terulang, sia-sialah guna uang karena sama sekali dia tak berguna sebab sudah tergantikan barter. Sia-sia juga handphone, komputer, mobil, pesawat, televisi, dan sebagainya sebab kita hanya menggunakan batu dan sekali lagi batu. Coba bayangkan kalau kita harus menggunakan batu sebagai sarana dan alat pada setiap segi kehidupan? Artinya, mari berharap agar zaman batu tak terulang secara sempurna. Setidaknya kalaupun sempuna, maaf saya egois, semoga itu tidak terjadi juga pada saya.
0 comments:
Post a Comment