Thursday, 5 March 2015

Gusdur dan GKI Yasmin

Gusdur dan GKI Yasmin

Oleh: Riduan Situmorang
SBY sudah digantikan Jokowi, Danny Setiawan oleh Ahmad Herya­wan, dan Diani Budiarto oleh Bima Arya, tetapi nasib GKI Yasmin masih terombang-ambing. Praktis, pergan­tian rezim baik di level lokal, provinsi, maupun nasional rupa-rupanya belum bisa menuntaskan kasus klasik ini. Artinya, khususnya bagi GKI Yasmin, pergantian rezim melalui pemilu yang konon katanya merupakan syarat mutlak dari demo­krasi tidak berdam­pak apa-apa.
Lebih dalam lagi, aksi demonstrasi damai yang merupakan nama lain dari demokrasi juga, termasuk beribadah sekali dua minggu di depan istana negara rupanya mental dan tak berpe­nga­ruh. Dalam hal ini, demokrasi bagi mereka tidak ada apa-apanya dan tidak ada gunanya. Pasalnya, mereka memi­lih, tetapi dampak pemilihan itu tidak ada, mereka bersuara, tetapi dampak­nya pun nihil, setidaknya itulah yang mereka rasakan hingga detik ini.
Pemikiran Baru
Belakangan ini, suara untuk GKI Yasmin pun kembali mulai ramai. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari Bulan Gusdur yang selalu diperingati setiap bulan Desember sejak keper­giannya. Kita tahu, Gusdur merupakan sosok humanis yang tidak mau terseret pada formalisme dogmatis. Dia justru mera­sa, bahkan berkewajiban meng­ha­dirkan dan menerjemahkan agama yang kontekstual. Pada suata saat kata dia, saudara kita bukan rakyat di Timur Tengah hanya karena mereka Muslim, melainkan mereka yang kini setanah air dan sebahasa dengan kita, kendati­pun mereka bukan Muslim.
Maka, di tengah gejolak Islam yang masih radikal, Gusdur membawa pemikiran baru sehingga dia sering dicap sebagai orang "kafir" baru. Bagaimana tidak, dengan revo­lusio­ner, dia menerobos batas-batas kaku dan sensitif. Terhitung, dia tercatat tidak hanya menyarankan memberi ucapan selamat Natal, tetapi juga ikut serta melihat orang Nasrani bernatal. Bahkan, dia menyarankan supaya memberi ucapan selamat dari kita kepada mereka yang berbeda. Dia juga tercatat memberi kehangatan kepada saudara Tionghoa yang selama ini masih "bersembunyi". Sejak itu, pluralisme mulai bergelora yang walapun di tingkat akar-akar, masih ada sentimen yang perlu ditindak­lanjuti.
Salah satu di tingkat akar itu yang hingga kini masih menan­cap adalah kasus yang menimpa jemaat GKI Yasmin. Entah ini benar atau tidak, ditengarai kasus ini bermula dari keberatan masyarakat sekitar terhadap bangunan gereja GKI Yasmin. Maka, Walikota Bogor, Diani Budiarto saat itu, mencabut IMB-nya pada 14 Februari 2008. Padahal sebelumnya, dia sendirilah yang memberikan IMB itu pada 13 Juli 2006.
Tidak puas dengan hasil yang "janggal" tersebut, jemaat GKI Yas­min sebenarnya menempuh jalur hukum yang konstitusional sehingga keluarlah putusan Mahkamah Agung No.127/PK/TUN/2009 yang menyata­kan bahwa IMB tersebut sah. Celaka­nya, Pemkot Bogor kemudian menca­butnya melalui SK 645.45-137 per 11 Maret 2011 sehingga timbul kesan bahwa MA tidak ada apa-apanya.
Jemaat tidak menyerah. Mereka lagi-lagi mengadukan kejanggalan ini juga ke Ombudsman. Hasilnya pada 18 Juli 2011, Ombudsman mereko­mendasikan dengan inti paling tidak dalam jangka 60 hari, Pemko harus mencabutnya. Namun, hingga jangka waktu yang ditetapkan berakhir, Pemko Bogor tetap diam.
Di sinilah kejanggalan itu beranak pinak, negara yang secara administratif dan konsitusional sudah melegitimasi, tetapi punggawa-punggawa yang bekerja di baliknya tidak kunjung menindaklanjuti. Atas dasar itulah kita kemudian bertanya, apakah rakyat atas dasar keberatan dapat mencabut IMB? Apakah pemerintah, entah itu wali­kota, gubernur, dan presiden dapat menyegel dan tak mengizinkan seke­lompok orang untuk beribadah hanya karena dasar keberatan dari masya­rakat sekitar?
Yakinlah, pertanyaan di atas sebe­narnya bukan pertanyaan untuk me­ngu­ji, melainkan untuk menguatkan, meragukan, sekaligus mempertanya­kan. Hal itu logis karena perihal GKI Yasmin, IMB-nya bukan ditolak dari sononya, melainkan ditolak setelah lebih dahulu diizinkan, sudah diberi, dicabut lagi. Apakah hal demikian pantas? Dengan nalar sederhana kita tahu hal ini sangat memuakkan. Bahasa gaulnya, ini di-PHP-in. Bahasa konstitusionalnya, ini dikerdilkan.
Logika Sesat
Betapa tidak, dengan logika yang sama, yaitu atas dasar keberatan, bukankah tak mustahil ada seke­lompok orang yang kemudian me­nang­guhkan keabsahan sebuah agama di negeri ini, sebut, misalnya itu Konghucu? Catat, saya tidak bermaksud untuk berbuat rasis, tetapi hanya sebagai contoh karena agama ini merupakan agama paling terakhir yang diakui. Nah, apakah, misalnya, karena keberatan masyarakat tertentu terha­dap pengabsahan agama ini lantas membuat pemerintah juga berhak untuk menangguhkan keabsahan agama Konghucu ini? Tidak bukan?
Maka, kita kutuk logika sesat dari Walikota Bogor yang mengaku men­cabut IMB GKI Yasmin hanya karena keberatan. Sederhana saja, mana ada manusia di negeri ini yang semua setuju-setuju saja, pasti ada yang keberatan. Akan tetapi, apakah lantas karena keberatan, terutama hanya karena keberatan orang tertentu itu serta-merta akan membawa kita pada posisi untuk mencabut, bahkan me­nger­dilkan mereka yang tidak dise­tujui? Bukankah hukum menjadi patokan, petanda, sekaligus titik bertemu bagi mereka yang setuju dan yang tak setuju? Dalam hal ini, bukankah IMB menjadi titik temu bagi mereka yang setuju dengan yang tak setuju?
Entahlah, negeri ini memang negeri demokratis. Seperti kita tahu, demo­krasi merupakan paham yang meng­amini kebebasan untuk berbicara, tentu harus dilengkapi dengan ke­mauan untuk mendengar dengan sepenuh hati. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, sepertinya kita mengambil setengah-setengah. Jemaat GKI Yasmin, misalnya, bebas berbi­cara dan bersuara di depan Istana Negara. Pemerintah pun mengizinkan, bahkan "menyarankan" mereka untuk melakukannya. Hanya saja, peme­rintah dalam hal ini hanya sebatas mengizinkan. Mereka sejatinya be­lum­lah mendengar dengan sepenuh hati. Buktinya, mereka tetap menye­gelnya dan mengendapkannya dalam waktu yang lama sehingga jemaat GKI Yasmin tak dapat beribadah dengan lancar.
Kini, setelah bertahun-tahun Gus­dur wafat, pluralisme kembali menjadi ujian. Apakah Presiden baru, Guber­nur baru, dan Walikota baru dapat menjadi reinkarnasi, atau setidaknya meniru Gusdur? Atau, apakah filosofi dan niatan pluralisme yang pernah disuarakan Gusdur sudah "mati" bersama sang empunya? Kita tunggu saja, yang pasti kita mengharap "sabda-sabda" Gusdur tidak mati seiring dengan kepergiannya. ***
* Penulis adalah Pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya, dan Penggagas "Teater Z" Medan

0 comments: