Gusdur dan GKI Yasmin
Oleh: Riduan Situmorang
SBY sudah digantikan Jokowi, Danny Setiawan oleh Ahmad Heryawan, dan Diani Budiarto oleh Bima Arya, tetapi nasib GKI Yasmin masih terombang-ambing. Praktis, pergantian rezim baik di level lokal, provinsi, maupun nasional rupa-rupanya belum bisa menuntaskan kasus klasik ini. Artinya, khususnya bagi GKI Yasmin, pergantian rezim melalui pemilu yang konon katanya merupakan syarat mutlak dari demokrasi tidak berdampak apa-apa.
Lebih dalam lagi, aksi demonstrasi damai yang merupakan nama lain dari demokrasi juga, termasuk beribadah sekali dua minggu di depan istana negara rupanya mental dan tak berpengaruh. Dalam hal ini, demokrasi bagi mereka tidak ada apa-apanya dan tidak ada gunanya. Pasalnya, mereka memilih, tetapi dampak pemilihan itu tidak ada, mereka bersuara, tetapi dampaknya pun nihil, setidaknya itulah yang mereka rasakan hingga detik ini.
Pemikiran Baru
Belakangan ini, suara untuk GKI Yasmin pun kembali mulai ramai. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari Bulan Gusdur yang selalu diperingati setiap bulan Desember sejak kepergiannya. Kita tahu, Gusdur merupakan sosok humanis yang tidak mau terseret pada formalisme dogmatis. Dia justru merasa, bahkan berkewajiban menghadirkan dan menerjemahkan agama yang kontekstual. Pada suata saat kata dia, saudara kita bukan rakyat di Timur Tengah hanya karena mereka Muslim, melainkan mereka yang kini setanah air dan sebahasa dengan kita, kendatipun mereka bukan Muslim.
Maka, di tengah gejolak Islam yang masih radikal, Gusdur membawa pemikiran baru sehingga dia sering dicap sebagai orang "kafir" baru. Bagaimana tidak, dengan revolusioner, dia menerobos batas-batas kaku dan sensitif. Terhitung, dia tercatat tidak hanya menyarankan memberi ucapan selamat Natal, tetapi juga ikut serta melihat orang Nasrani bernatal. Bahkan, dia menyarankan supaya memberi ucapan selamat dari kita kepada mereka yang berbeda. Dia juga tercatat memberi kehangatan kepada saudara Tionghoa yang selama ini masih "bersembunyi". Sejak itu, pluralisme mulai bergelora yang walapun di tingkat akar-akar, masih ada sentimen yang perlu ditindaklanjuti.
Salah satu di tingkat akar itu yang hingga kini masih menancap adalah kasus yang menimpa jemaat GKI Yasmin. Entah ini benar atau tidak, ditengarai kasus ini bermula dari keberatan masyarakat sekitar terhadap bangunan gereja GKI Yasmin. Maka, Walikota Bogor, Diani Budiarto saat itu, mencabut IMB-nya pada 14 Februari 2008. Padahal sebelumnya, dia sendirilah yang memberikan IMB itu pada 13 Juli 2006.
Tidak puas dengan hasil yang "janggal" tersebut, jemaat GKI Yasmin sebenarnya menempuh jalur hukum yang konstitusional sehingga keluarlah putusan Mahkamah Agung No.127/PK/TUN/2009 yang menyatakan bahwa IMB tersebut sah. Celakanya, Pemkot Bogor kemudian mencabutnya melalui SK 645.45-137 per 11 Maret 2011 sehingga timbul kesan bahwa MA tidak ada apa-apanya.
Jemaat tidak menyerah. Mereka lagi-lagi mengadukan kejanggalan ini juga ke Ombudsman. Hasilnya pada 18 Juli 2011, Ombudsman merekomendasikan dengan inti paling tidak dalam jangka 60 hari, Pemko harus mencabutnya. Namun, hingga jangka waktu yang ditetapkan berakhir, Pemko Bogor tetap diam.
Di sinilah kejanggalan itu beranak pinak, negara yang secara administratif dan konsitusional sudah melegitimasi, tetapi punggawa-punggawa yang bekerja di baliknya tidak kunjung menindaklanjuti. Atas dasar itulah kita kemudian bertanya, apakah rakyat atas dasar keberatan dapat mencabut IMB? Apakah pemerintah, entah itu walikota, gubernur, dan presiden dapat menyegel dan tak mengizinkan sekelompok orang untuk beribadah hanya karena dasar keberatan dari masyarakat sekitar?
Yakinlah, pertanyaan di atas sebenarnya bukan pertanyaan untuk menguji, melainkan untuk menguatkan, meragukan, sekaligus mempertanyakan. Hal itu logis karena perihal GKI Yasmin, IMB-nya bukan ditolak dari sononya, melainkan ditolak setelah lebih dahulu diizinkan, sudah diberi, dicabut lagi. Apakah hal demikian pantas? Dengan nalar sederhana kita tahu hal ini sangat memuakkan. Bahasa gaulnya, ini di-PHP-in. Bahasa konstitusionalnya, ini dikerdilkan.
Logika Sesat
Betapa tidak, dengan logika yang sama, yaitu atas dasar keberatan, bukankah tak mustahil ada sekelompok orang yang kemudian menangguhkan keabsahan sebuah agama di negeri ini, sebut, misalnya itu Konghucu? Catat, saya tidak bermaksud untuk berbuat rasis, tetapi hanya sebagai contoh karena agama ini merupakan agama paling terakhir yang diakui. Nah, apakah, misalnya, karena keberatan masyarakat tertentu terhadap pengabsahan agama ini lantas membuat pemerintah juga berhak untuk menangguhkan keabsahan agama Konghucu ini? Tidak bukan?
Maka, kita kutuk logika sesat dari Walikota Bogor yang mengaku mencabut IMB GKI Yasmin hanya karena keberatan. Sederhana saja, mana ada manusia di negeri ini yang semua setuju-setuju saja, pasti ada yang keberatan. Akan tetapi, apakah lantas karena keberatan, terutama hanya karena keberatan orang tertentu itu serta-merta akan membawa kita pada posisi untuk mencabut, bahkan mengerdilkan mereka yang tidak disetujui? Bukankah hukum menjadi patokan, petanda, sekaligus titik bertemu bagi mereka yang setuju dan yang tak setuju? Dalam hal ini, bukankah IMB menjadi titik temu bagi mereka yang setuju dengan yang tak setuju?
Entahlah, negeri ini memang negeri demokratis. Seperti kita tahu, demokrasi merupakan paham yang mengamini kebebasan untuk berbicara, tentu harus dilengkapi dengan kemauan untuk mendengar dengan sepenuh hati. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, sepertinya kita mengambil setengah-setengah. Jemaat GKI Yasmin, misalnya, bebas berbicara dan bersuara di depan Istana Negara. Pemerintah pun mengizinkan, bahkan "menyarankan" mereka untuk melakukannya. Hanya saja, pemerintah dalam hal ini hanya sebatas mengizinkan. Mereka sejatinya belumlah mendengar dengan sepenuh hati. Buktinya, mereka tetap menyegelnya dan mengendapkannya dalam waktu yang lama sehingga jemaat GKI Yasmin tak dapat beribadah dengan lancar.
Kini, setelah bertahun-tahun Gusdur wafat, pluralisme kembali menjadi ujian. Apakah Presiden baru, Gubernur baru, dan Walikota baru dapat menjadi reinkarnasi, atau setidaknya meniru Gusdur? Atau, apakah filosofi dan niatan pluralisme yang pernah disuarakan Gusdur sudah "mati" bersama sang empunya? Kita tunggu saja, yang pasti kita mengharap "sabda-sabda" Gusdur tidak mati seiring dengan kepergiannya. ***
* Penulis adalah Pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya, dan Penggagas "Teater Z" Medan
0 comments:
Post a Comment