Korupsi Perparkiran
|
ENTAH sudah ke berapa kali penulis Sumut mengungkapkan kekesalanannya manakala melihat langsung ulah para juru parkir yang menagih uang parkir secara menyebalkan. Sialnya, mereka selalu saja menagih uang parkir dengan bahasa tubuh yang tidak bersahabat, apalagi kalau kita sedikit menolak, misalnya.
|
Saya sendiri, misalnya, sudah tidak terhitung entah berapa kali berdebat tidak jelas dengan mereka. Saya sampai kebingungan, apakah harus saya yang lebih tahu perihal tata aturan perparkiran atau para juru parkir itu? Harusnya memang, juru parkir lebih tahu, tetapi sejauh pengamatan saya mereka kebanyakan sok tahu saja. Celakanya, sudahlah sok tahu, mereka malah memeras para konsumen parkir dengan nada menggurui, bahkan meminta uang parkir lebih dari yang seharusnya.
Di sinilah saya menjadi sangat bangga dengan sikap kritis Sagita Purnomo serta para sahabat penulis lainnya. Akan tetapi, tulisan memang kerap kali hanya berupa tulisan. Dia tidak pernah digubris, apalagi ditanggapi pemerintah. Alhasil, juru parkir berkeliaran begitu saja. Mereka bahkan makin leluasa menagih uang parkir seenaknya.
Tragisnya kemudian adalah ketika kita ketahui ternyata kebanyakan uang parkir diludes oleh para juru parkir. Sebagai hasilnya, target pendapatan asli daerah dari ranah perparkiran jauh dari target. Sebagaimana disitir Sagita Purnomo, realisasi PAD Kota Medan jauh dari harapan. Realisasi PAD Medan hanya mencapai 73,31% atau sekitar Rp 897 miliar dari target Rp 1,19 triliun. Artinya, selisih pendapatan dengan target yang diinginkan bisa saja diparalelkan dengan tindakan korupsi, tepatnya korupsi ratusan miliaran. Lha, kalau meemang korupsi mengapa sampai sekarang mereka tak kunjung ditindak?
Sebenarnya, pada prinsipnya saya tidak sulit mengeluarkan uang parkir. Hanya yang kemudian saya pikirkan adalah ternyata uang yang saya berikan itu tidak jatuh pada kas negara, tetapi justru masuk ke para pengusaha perparkiran dan juru parkir. Seperti Sagita Purnomo yang tidak ngeh memberikan uang parkir, saya pun demikian, terlebih lagi jika juru parkirnya tidak memberikan karcis parkir.
Sebagai pengalaman, misalnya, saya pernah memaksa juru parkir untuk memberikan karcis. Setelah berdebat tidak penting, akhirnya sang juru parkir memberikan karcis itu. Tetapi betapa terkejutnya saya setelah sampai di rumah ketika melihat karcis itu semestinya untuk kendaraan roda empat, padahal saya saat itu mengendari sepeda motor, roda dua. Lebih membikin kesal, ternyata karcis itu bahkan sudah kedaluwarsa. Saya lantas terpikir bahwa mereka selalu saja mencari akal untuk meminimalkan peredaran karcis parkir resmi.
Dari pengalaman itulah kemudian saya duga pada dasarnya juru parkir tidak akan memberikan karcis parkir kalau kita tidak memintanya. Celakanya, uang parkir yang masuk ke kas negara justru dihitung berdasarkan karcis tersebut. Artinya, semakin banyak karcis yang terpakai, semakin banyak pula uang masuk ke kas negara. Demikian juga sebaliknya. Sialnya, kita kebanyakan terlalu menyimpan gengsi yang terlalu dalam.
Saya, misalnya, pernah berdebat dengan juru parkir, tetapi tiba-tiba badan saya dicubit pacar. Jujur, saya memang agak sedikit malu, masa sih gara-gara uang ribuan berdebat tidak jelas? Alasannya memang sangat sederhana, masa hanya Rp 1.000 atau Rp 2.000 sampai mengorbankan malu di hadapan banyak orang, termasuk pacar yang sudah setengah mati mengejarnya?
Sederhanya memang demikian. Tetapi coba pikirkan lagi kalau saja pada 1.000 orang berlaku demikian selama 30 hari. Berapa banyak uang negara yang telah ditilap para juru parkir dan pengelola parkir? Lantas, apakah setiap hari hanya ada 1.000 orang yang diperlakukan demikian? Tidak! Tapi mengapa kita membiarkan mereka melucuti uang negara sedikit demi sedikit? Bukankah hal itu lama-lama menjadi bukit?
Koruptor-Koruptor Kecil
Pada titik inilah mestinya masyarakat berpikir kritis. Saya tidak mengatakan berpelit-pelitlah, tetapi sebaliknya, berilah sepantasnya serta usahakan uang itu untuk kas negara. Cara sederhananya adalah dengan meminta karcis parkir.
Lagipula, uang parkir kita, khususnya, di Medan masih sangat sedikit. Untuk roda dua, misalnya, Rp 300 dan roda empat Rp 1.000.
Hal itu didasarkan pada Perda Nomor 7 Tahun 2002. Tetapi, coba jujur, pernahkah Anda memberi uang parkir Rp 300 untuk roda dua dan Rp 1.000 untuk roda empat? Tidak! Roda dua sudah menelan biaya Rp 1.000, bahkan kini sudah lebih sering diminta Rp 2.000. Kalau demikian adanya, kemana sisa uang Rp 700 dan Rp 1.700 tadi? Sekali lagi, jika dihitung orang per orang, uang itu sangat sedikit, bahkan sepele. Tetapi, jika diakumulasikan, Anda akan terkejut bahwa ternyata jumlah uang itu mungkin saja sudah bisa digunakan untuk membangun sebuah sekolah.
Benar memang Perda Nomor 2 Tahun 2014 telah mengisyaratkan tarif resmi Rp 1.000 untuk kendaraan roda dua, Rp 2.000 untuk kendaraan roda empat dan Rp 5.000. Akan tetapi, perda ini belum dilengkapi peraturan walikota (perwal) sesuai dengan hirarki peraturan daerah Kota Medan. Suatu perda baru bisa diterapkan dan dilaksanakan apabila sudah mendapat persetujuan walikota dalam bentuk perwal.
Sudahlah, masalah perparkiran kita memang sudah sangat liar. Bila boleh diparalelkan, mereka bahkan sudah lebih gesit dari para koruptor. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, maka kita sedang melihat para koruptor berkeliaran dan kita membantunya melaksanakan bisnis haram tersebut. Percayalah, hal ini sudah sangat merugikan masyarakat secara tumpang tindih dan berlilit. Ruginya, sudahlah uang kita tidak jelas dialirkan ke mana, kendaraan yang hilang misalnya bahkan tidak menjadi tidak tanggung jawab para juru parkir dan pengelola parkir.
Kalau tugas mereka adalah menjaga kenderaan, apakah mereka secara tidak langsung juga harus bertanggung jawab jika misalnya kenderaan itu hilang? Tetapi, apakah begitu fakta yang kita saksikan selama ini? Tidak! Maka, kini jelas bahwa para jukir dan pengelola parkir bertugas untuk meminta uang, bukan menjaga kendaraan, apalagi menanggungjawabinya! Singkatnya, mereka adalah koruptor-koruptor kecil yang jumlahnya sangat banyak. Mampukah kita memberantas para koruptor ini?
(Oleh : Riduan Situmorang)Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan |
0 comments:
Post a Comment