Lord Acton, Mochtar Lubis, dan Rahudman Harahap
|
Sejarawan Katolik
terkemuka, Lord Acton (1837-1902), dalam cuplikan suratnya kepada Uskup
Mandell Creighton pernah mengatakan bahwa kekuasaan itu cenderung korup
dan orang besar selalu buruk. Kiranya pandangan ini menjadi relevan
pada adagium yang mengatakan langkah paling realistis untuk menguji
seseorang adalah ketika kita memberinya kekuasaan.
|
Adagium itu pun menjadi sangat relevan untuk mengenali
karakter manusia - terutama mereka yang kebetulan memimpin Indonesia -
apalagi setelah kita melihat begitu banyaknya birokrat yang tumbang
karena korupsi. Tua sampai muda, wanita atau pria, eksekutif,
legislatif, bahkan yudikatif pun harus tumbang karena korupsi. Artinya,
orang Indonesia terutama mereka yang kebetulan menjadi pemimpin memang
tukang korupsi.
Melihat kisah-kisah lapuk para koruptor tersebut,
misalnya, Rahudman Harahap - sempat terpilih menjadi Walikota Medan -
yang baru saja dibui lantaran tersandung korupsi. Saya jadi teringat
Mochtar Lubis yang pernah sedikit nyentrik untuk menelanjangi 12
sifat-sifat Indonesia.
Menurut Mochtar Lubis, karakter orang
Indonesia pertama-tama adalah sangat hipokrit atau munafik. Bagi
Mochtar, sifat ini menjadi karakter umum di Indonesia sebab orang
Indonesia biasanya bersikap berpura-pura: lain di depan, lain pula di
belakang. Sebutlah, misalnya, hal yang terjadi baru-baru ini, ketika
masyarakat Indonesia sudah kencanduan politik uang. Mereka ibaratnya
hanya akan memilih kalau uang muka dibayar oleh caleg. Tidak sampai di
situ, mereka malah tidak memilih caleg itu sehingga di beberapa tempat
ada caleg yang stres karena sudah memberi uang tetapi tidak dipilih.
Sifat
kedua, orang Indonesia juga enggan bertanggung jawab. Penilaian ini
benar karena memang kita sering kali mengucapkan kata; bukan aku.
Lihatlah, pejabat pemerintah kita yang tersandung korupsi juga sering
megatakan kata-kata mengelak. Sudah pun terbukti benar-benar korupsi,
mereka tetap saja mengelak, bahkan dengan ramah menyunggingkan senyum
dan tawa seakan-akan mereka tidak bersalah. Sifat Indonesia - terutama
para pemimpin - juga ternyata orang yang tidak tahu malu. Mereka bahkan
lebih sering membela diri lewat jalur hukum, yaitu dengan mengajukan
banding dan kasasi, ketimbang mengakui kesalahan dan kooperatif terhadap
hukum.
Sifat-sifat lainnya lagi, orang Indonesia juga mudah
cemburu, dengki dan masih banyak lagi. Rasanya tidak perlu dibeberkan
karakter buruk itu semua di sini karena nantinya kita akan malu sendiri.
Seperti
kata Lord Acton tadi, kekuasaan itu memang cenderung korup dan orang
besar selalu buruk. Nyatanya, koruptor kita memang tersandung korupsi
setelah mereka jadi penguasa. Kita tidak tahu apa alasannya dan di mana
akar masalahnya. Yang kita tahu, idealnya pemimpin adalah orang yang
sudah berkecukupan, setidaknya untuk dirinya. Karena itu, seharunya
mereka menjadikan predikat pemimpin bukan sebagai alat untuk meraih
pendapatan, melainkan sebagai alat untuk menjangkarkan diri dalam
melayani masyarkat supaya berkeadilan, berkesatuan, berkemakmuran dan
berketuhanan secara personal tanpa ada unsur paksaan.
Tetapi
kenyataannya para pemimpin kita malah lebih sering menggunakan posisi
mereka itu untuk meraup rupiah, seakan-akan kedudukan sebagai perwakilan
dari masyarakat adalah profesi untuk mencari uang. Padahal, perwakilan
merupakan sarana untuk melayani. Alhasil, korupsi menjadi fakta yang
tidak terbantahkan. Setiap proyek menjadi lahan basah dan renyah untuk
dikorupsi.
Kita terbengong-bengong, mengapa, ya, para pemimpin
kita masih korupsi? Apakah mereka kekurangan uang? Tidak! Mereka malah
kelebihan uang dan justru karena kelebihan uanglah mereka berani
mencalonkan diri. Dalam hal inilah pernyataan Mochtar Lubis menjadi
relevan lagi, bahwa orang Indonesia ternyata juga feodal. Hal ini tentu
sangat paradoksal, mengingat sebelumnya kita sangat membenci perilaku
feudal tapi justru kita menerapkan paham feodal yang baru.
Meskipun
tujuan revolusi negara kita adalah membasmi paham-paham feodal, justru
kita malah makin marak mempertontonkannya di panggung politik. KKN
berserakan. Dalam struktur kepegawaian, misalnya, kalau seseorang
menjadi gubernur, kerabat-kerabat lain pasti akan menjadi pemegang
kendali. Seperti dinasti Ratu Atut dan Annas Maamun di Riau yang serta
merta mengangkat menantunya menjadi pejabat penting.
Memang,
terlalu malu melihat ciri-ciri negatif Indonesia ini, terutama karena
sifat-sifat ini makin cling dipertunjukkan para pemuka panggung politik.
Kita tahu, korupsi merupakan masalah, tetapi kita kewalahan untuk
membasminya. Selama ini kita pun selalu salah, menduga korupsi terjadi
lantaran kekurangan material padahal karena kekurangan moral. Saya tidak
sedang mengatakan para koruptor kakap orang yang kekurangan moral,
tetapi bingung dengan istilah apa menyebut mereka.
Berlindung pada Singa Buas
Di
dalam hati, saya sangat ingin berita korupsi sudah tidak menyeruak.
Berita Rahudman Harahap, misalnya, ketika dibebaskan pada 15 Agustus
2013, menjadi berita abu-abu dan tidak jelas. Hati merintih karena sang
walikota terpilih ternyata koruptor. Di sisin lain, hati mendadak
gembira karena nyatanya Rahudman bukanlah koruptor. Lantas, ketika 15
April 2014 Rahudman resmi ditahan, kita pun kembali dicecari gelisah
abu-abu. Kita terharu karena KPK berhasil menumpas koruptor. Tetapi kita
juga mendadak sedih karena sang walikota terpilih ternyata benar-benar
koruptor.
Ironisnya, berbagai pemuka agama pada tahun lalu sering
membesuk Rahudman untuk memberi penguatan menolak setiap tuduhan.
Apakah pemuka agama sudah buta sehingga mereka tidak tahu menentukan
siapa yang mau dibela dan siapa yang mau dididik?
Akhirnya, seperti
kata Mochtar Lubis, orang Indonesia - terlepas mereka sebagai seorang
pemuka agama, orang awam atau orang yang kebetulan menjadi pemimpin -
ternyata juga orang yang lemah. Ketika ada orang yang kebetulan duduk di
birokrat, kita akan ramai-ramai berlindung padanya padahal dia singa
yang lebih kejam.
Menghadapi pertarungan Pilpres 2014 sebagai
ajang untuk mencari orang besar pada panggung politik selanjutnya,
apakah pendapat Lord Acton yang mengatakan orang-orang besar selalu
buruk, akan benar-benar menjadi fakta? Mari kita tunggu!.
(Oleh: Riduan Situmorang, Penulis staf pengajar bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan) |
0 comments:
Post a Comment