Selaku dosen junior di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1981, setiap masuk ruang kuliah untuk
mengajar saya berusaha menata hati. Tidak cukup hanya menguasai materi ajar,
tetapi ke ruang kelas mesti membawa cinta.
Hati mesti gembira.
Saya ingat salah satu sabda Rasulullah: Barangsiapa
menyampaikan ilmu Allah pada orang lain dengan ikhlas, maka gantian Allah
yang akan menjadi gurunya, mengajari ilmu yang belum diketahuinya. Itu
saya yakini sejak masih di pesantren sampai hari ini. Bahwa mengajar hendaknya
diniati sebagai ibadah, dilakukan dengan ikhlas, kemuliaan ilmu itu jangan
ditukar dengan gaji.
Kalaupun terima gaji,
itu upah sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang dibayarkan oleh negara. Jika
diniati sebagai ibadah, Allah akan memberi imbalan dengan cara-Nya sendiri,
di luar gaji PNS. Tentu ini merupakan keyakinan iman. Di samping sebagai
karyawan pemerintah, jauh lebih penting lagi saya ingin menjadi karyawan
Tuhan sehingga yang akan saya dapatkan bukan saja rezeki yang halal dan
berkah, namun juga Allah akan membukakan jalan untuk memperoleh ilmu baru.
Mengajar dengan hati
itu akan terasa ringan dalam melakukannya, dan lagi akan menimbulkan jalinan
yang lebih akrab dengan mahasiswa. Yang demikian itu saya rasakan dan amati
setiap mengikuti kuliah almarhum Prof Dr Harun Nasution. Pak Harun selalu
menolak menghadiri undangan seminar jika bentrok dengan jadwal mengajar.
Mengajar dan bertemu mahasiswa selalu menjadi prioritas.
Pak Harun terlihat semakin
antusias memberi kuliah jika mahasiswa aktif bertanya secara kritis.
Mahasiswa yang diam, tak pernah bertanya, tidak berarti dia pintar, katanya.
Sebaliknya, mungkin tidak tahu apa yang akan ditanyakan, atau tidak tahu dan
tidak berani bagaimana bertanya. Pak Harun selalu mengoreksi jika mahasiswa salah
membuat pertanyaan, tanpa mempermalukan. Ilmu pengetahuan itu tersembunyi di
balik pertanyaan yang kritis dan mendasar.
Pertanyaan yang serius
dan sistematis namanya research.
Sebuah pencarian kebenaran terhadap objek yang diriset. Jadi, dengan bertanya
mahasiswa akan mendapatkan informasi lebih banyak lagi dari dosen. Ini mirip
dengan pepatah lama, malu bertanya sesat di jalan. Pelajar dan mahasiswa
Indonesia memang kalah aktif dalam mengajukan pertanyaan dibanding hasil
pendidikan di Barat yang sejak awal siswa diajari bersikap asertif.
Menyampaikan perasaan dan pikirannya dalam forum secara jujur. They are thinking loudly.
Berpikir sambil
berbicara. Kalau masyarakat Timur cenderung thinking silently. Tetapi kita tidak tahu persis, apakah diam
berarti berpikir atau pasif. Sepanjang pengalaman memberi kuliah, mahasiswa
strata satu kebanyakan enggan mengajukan pertanyaan kritis pada dosen.
Kalaupun ada hanya sedikit jumlahnya. Tetapi jika dosen membiasakan dan
mengondisikan sejak awal, suasana kuliah akan berubah. Menjadi cair dan lebih
hidup.
Salah satu cara paling
efektif adalah memberi tugas pada mahasiswa untuk menyampaikan hasil
kajiannya terhadap topik tertentu, lalu diperdalam dan diperkaya oleh dosen.
Keengganan bertanya dan mendebat guru ini mungkin sekali dipengaruhi oleh
pendidikan sewaktu di SMP dan SMA, khususnya di pesantren, di mana guru
adalah pembicara, murid adalah pendengar. Guru adalah sosok yang paling tahu,
yang tidak mungkin ilmunya dilangkahi oleh murid.
Murid masuk kelas
layaknya celengan yang siap diisi oleh guru, lalu dicatat, dihafal, dan nanti
dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan dalam ujian. Pola menghafal untuk
bersiap menghadapi ujian masih cukup menonjol dalam pendidikan kita. Padahal,
yang lebih penting itu proses memahami dan latihan menyelesaikan masalah agar
terbentuk sikap kritis kreatif, bukan berpikir repetitif, mengingat dalam
realitas kehidupan ini akan ditemui masalah dan tantangan baru.
Guru-guru kita kurang
mendidik para siswa untuk berimajinasi, keluar dari pakem berpikir yang ada.
Rasa kagum dan mencintai profesi guru atau dosen, rasanya sudah merupakan
panggilan hati sejak kecil. Kata orang bijak, seorang guru itu memberikan yang
terbaik dan termahal dari apa yang dimiliki untuk anak-anak bangsa. Jika
orang kaya menolong orang lain dengan memberikan sebagian kecil hartanya,
seorang guru memberikan hati, pikiran, dan jiwanya.
Mereka mesti tampil
sebagai role model bagi muridnya, guru artinya digugu lan ditiru, mendidik
mereka agar berbudi luhur, berpengetahuan luas, bisa mandiri, dan berani
menghadapi masa depan yang kita semua belum tahu dan belum mengalami. Mirip
ungkapan Khalil Gibran, orang tua, termasuk guru, hendaknya berperan bagaikan
busur yang mampu melepaskan anak panahnya untuk melesat jauh ke depan,
melampaui dan meninggalkan dirinya.
Anak-anak kita akan
menjadi anak zamannya. Mereka berumah di masa depan. Guru dan orang tua hanya
bisa mengantarkan dan membayangkan, tetapi tidak bisa menyertai dan tidak
bisa menengoknya. Sampai hari ini saya percaya bahwa jika guru mengajar
dengan hati, maka murid juga akan mendengarkan dengan hati, bukan sekdar
masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bahkan ada yang mengatakan, masuk
telinga kanan keluar lagi dari telinga kanan.
Makanya, kalau
seseorang ingin menyampaikan pengumuman, dimulai dengan kalimat: Saudara-saudara
sekalian, mohon per-hati-an....
Komaruddin Hidayat
Koran Sindo, 11/03/2016
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
0 comments:
Post a Comment